Serba-serbi Kereta Tua yang Gerakkan Pariwisata di Ambarawa

(Foto: dok. pribadi)


Pada era kolonialisme Belanda, salah satu daerah yang memiliki peran cukup penting di Jawa Tengah adalah Ambarawa. Secara administratif kota kecamatan ini masuk wilayah Kabupaten Semarang. Di sana ada beberapa jejak sejarah yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Salah satunya adalah Stasiun Willem I yang sekarang menjadi Museum Kereta Api Ambarawa.

Dahulu stasiun dan jalur kereta di Ambarawa dibangun oleh Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) di era pemerintahan Raja Willem I pada tahun 1873. Letaknya tidak begitu jauh dari benteng yang telah lebih dulu dibangun dengan nama yang sama, yaitu Willem I. Tujuan dibangunnya stasiun ini untuk mempermudah pengiriman hasil perkebunan menuju pelabuhan di kota Semarang sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri. Udara sejuk dataran tinggi dan tanah yang subur memang membuat Ambarawa menjadi daerah dengan hasil perkebunan yang melimpah, khususnya kopi. 

Sebelumnya, kota ini sudah menjadi daerah basis militer Hindia Belanda karena letaknya yang strategis, yaitu berada di persimpangan dua kota besar Semarang dan Yogyakarta. Rute yang tersedia dari stasiun Willem I adalah dari Ambarawa menuju Kedungjati dan dilanjutkan pembangunan jalur ke arah Magelang pada tahun 1905 karena pada perjalanannya kereta tidak hanya dibutuhkan untuk pengiriman hasil perkebunan saja namun juga sebagai alat mobilitas pasukan tentara ke daerah pangkalan militer lain seperti Magelang. 

(Foto: dok. pribadi)

Saat ini kita masih bisa melihat sisa-sisa sejarah perkeretaapian itu di Museum Kereta Api Ambarawa yang dulunya merupakan lokasi stasiun Willem I. Sejak tahun 1978 memang stasiun ini telah dialihfungsikan menjadi museum karena tak lagi digunakan sebagai sarana transportasi bagi masyarakat. Berkembangnya moda kendaraan lain yang lebih cepat dan efisien pada saat itu membuat kereta bukan lagi jadi pilihan. Selain itu stasiun tua beserta isinya ini memang menyimpan daya tarik dan sejarah yang sangat kuat sehingga layak untuk dipertahankan meskipun tujuannya berganti untuk pariwisata.

Peron, kantor, dan sebagian bangunan masih ada. Bentuknya pun masih terjaga seperti dahulu. Benda-benda antik seperti lampu sorot, peralatan masinis, dan mesin cetak tiket kuno yang dulu digunakan juga turut dipajang di dalam area museum. Untuk bisa masuk ke Museum Kereta Api Ambarawa, pengunjung dikenai tarif tiket Rp 20.000 untuk dewasa, Rp 10.000 untuk anak-anak, dan Rp 30.000 untuk turis mancanegara. 

(Foto: dok. pribadi)

Usai membeli tiket, pengunjung dapat membaca ringkasan lini masa sejarah kereta api di Indonesia yang ditampilkan di sepanjang dinding sisi kanan. Sementara itu pada sisi kiri sudah ada beberapa koleksi lokomotif dan gerbong yang terpajang. Total ada 26 lokomotif uap, 4 lokomotif diesel, dan 6 gerbong dari berbagai daerah tersimpan dalam museum ini. Sebagian lokomotif tersebut masih aktif dan digunakan sebagai kereta wisata.

Di Museum Kereta Api Ambarawa ada lokomotif uap model B 25 yang bisa disewa untuk mengantarkan wisatawan menuju stasiun Tuntang. Dulu sebenarnya ada rute lain ke arah stasiun Bedono yang terkenal dengan sistem rel bergeriginya, namun berdasarkan informasi di website heritage KAI saat ini sudah tidak ada pilihan untuk rute tersebut. Padahal rel bergerigi ini sangat unik karena sekarang hanya ada 2 di Indonesia, satu di Ambarawa dan lainnya berada di Sawahlunto, Sumatera Barat. Untuk wisata dengan lokomotif uap tidak tersedia tiket perorangan melainkan harus reservasi atau rombongan. Tarif sewanya mulai dari Rp 10.000.000 tergantung jumlah gerbong dan pilihan waktu perjalanannya.


(Foto: dok. pribadi)

Namun tidak perlu khawatir karena ada opsi lain yang lebih terjangkau. Tiap akhir pekan dan hari libur wisatawan bisa merasakan sensasi menumpang kereta kayu kuno yang ditarik oleh lokomotif diesel hidraulik. Seri yang digunakan salah satunya adalah lokomotif D301 24 hasil pabrikan Fried Krupp, Jerman yang sudah mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1962. Tarif tiket untuk kereta wisata reguler ini sebesar Rp 100.000 per orang. Dalam sehari biasanya terdapat beberapa jadwal keberangkatan, namun jika ingin mencobanya disarankan datang lebih awal untuk meminimalisir resiko kehabisan tiket, karena tiket hanya bisa dibeli pada hari H keberangkatannya saja.

Pada sekali keberangkatan, kereta wisata ini bisa mengangkut 116 wisatawan yang nantinya ditempatkan pada 3 gerbong. Rutenya menuju Stasiun Tuntang dengan jarak kurang lebih 7 km. Meskipun cukup dekat, namun pemandangan yang dilalui akan memanjakan mata. Dari dalam gerbong yang berjalan lambat, wisatawan bisa melihat indahnya danau Rawa Pening dari tepian. Bahkan jika cuaca sedang cerah, gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran akan tampak dari sepanjang jalurnya. 


(Foto: dok. pribadi)

Di Stasiun Tuntang, kereta akan berhenti sejenak dan wisatawan bisa melihat suasana sekitar sambil menunggu lokomotif berputar arah. Stasiun ini juga sudah tidak aktif untuk melayani transportasi umum dan saat ini memang hanya digunakan sebagai transit kereta wisata dari Ambarawa.

(Foto: dok. pribadi)

Setelah lokomotif siap dan berbalik arah, kereta akan kembali menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Perjalanan pulang pergi membutuhkan total waktu sekitar satu jam. Memang bukan waktu yang lama, namun sesekali cobalah wisata ini maka dijamin tidak akan menyesal. Belajar sejarah di museum dilanjutkan menumpangi kereta tua sembari melihat sebagian keindahan alam Indonesia tentu akan jadi pengalaman yang sangat mengesankan.

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pesona Wisata Kabupaten Semarang.

Comments

Popular Posts