Hangatnya Kebersamaan dalam Tradisi Ambengan



Sayup-sayup suara kajian terdengar dari sebuah masjid di pinggiran kota Salatiga. Pada sore yang mendung itu santri-santri pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening berkumpul di masjid Al-Muttaqiin untuk mengaji kitab. Di pesantren tersebut ada sebuah tradisi yang sudah dijalankan bertahun-tahun ketika bulan Ramadhan, yaitu tradisi ambengan. Selepas mengaji kitab, santri-santri ini biasanya berkumpul di depan masjid Al-Muttaqiin dan menunggu santri lain yang ditugaskan mengambil ambeng atau tampah di rumah-rumah warga. Ada sekitar 12 ambeng berisi makanan yang diberikan warga Kalibening kepada para santri. Total ada 6 RT dan setiap RT mendapat jatah memberi 2 ambeng yang digilir setiap harinya.


Sore itu saya diajak oleh Ashrof dan Bayu untuk mengambil ambeng makanan di rumah yang letaknya tak jauh dari masjid. Senyum sumringah tampak dari wajah tuan rumah saat memberikan makanan kepada Bayu.


Masyarakat sekitar pesantren percaya bahwa berbagi ambeng makanan kepada para santri akan memberikan berkah tersendiri bagi mereka. Inilah yang membuat tradisi ini tetap berjalan sejak awal berdirinya pesantren sekitar tahun 1926 hingga sekarang.

Setelah semua ambeng selesai diambil, para santri jongkok di depan masjid melingkari masing-masing ambeng. Biasanya satu buah ambeng bisa untuk 7 orang.



Begitu azan berbunyi, dengan lahap mereka menyantap makanan dalam ambeng dengan cara "dipuluk" atau menggunakan tangan. Saya pun dipersilakan untuk bergabung dan kesederhanaan serta kebersamaan begitu terasa saat mengikuti tradisi ambengan ini.

Setelah selesai makan, dengan cepat santri-santri ini membersihkan halaman masjid dan bersiap untuk sholat maghrib.
Melihat hubungan harmonis antara warga dengan para santri yang kebanyakan pendatang dalam tradisi ambengan ini, tidak heran rasanya jika Salatiga disebut sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia.



Comments

Popular Posts