Popokan, Tradisi Perang Lumpur dari Bringin





Jika di India memiliki festival Holi, Indonesia pun memiliki tradisi yang hampir serupa, tradisi Popokan namanya. Jika Holi dilakukan dengan saling melempar cat yang berwarna-warni, sedangkan popokan ini yang dijadikan amunisi adalah tanah basah yang diambil dari sawah.

Simbol HArimau
Tradisi Popokan rutin diadakan setahun sekali, yaitu setiap Jumat Kliwon pada bulan Suro di desa Sendang, Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Popokan sendiri memiliki makna saling melempari atau melumuri lumpur. Asal usul tradisi ini adalah ketika dahulu ada seekor harimau yang sering masuk dan mengganggu pemukiman warga Sendang, kemudian Mbah Janip, salah satu sesepuh desa, bersama dengan warga lainnya berinisiatif untuk mengusir harimau tersebut dengan cara melemparinya dengan lumpur. Ketika telah berhasil mengusir harimau, para warga ini saling melempar lumpur sebagai wujud syukur dan suka cita.

Rangkaian tradisi Popokan diawali dengan kenduri di salah seorang rumah warga, di sana diadakan doa bersama kemudian dilanjutkan dengan menyantap makanan yang telah dibawa. Ketika para pria kenduri, warga lainnya bersiap melakukan kirab budaya, ada yang merias diri dan ada pula yang sibuk mempersiapkan bermacam aksesoris yang akan diarak dalam kirab.

Kirab dalam rangkaian tradisi Popokan

Kirab dimulai dari ujung jalan desa dan berakhir di balai desa. Saat itu jalan yang menjadi lokasi diadakannya rangkaian tradisi Popokan ditutup total. Dalam kirab tersebut para warga menunjukkan berbagai kreativitasnya, mulai dari kostum yang unik hingga menampilkan berbagai kesenian dari masing-masing kelompok. Suasana begitu meriah ketika peserta kirab memadati jalan utama desa Sendang. Warga yang tidak mengikuti kirab tampak begitu gembira dan tak sedikit pula yang mengabadikannya melalui gawai mereka. Adanya tradisi Popokan tentu berdampak pada peningkatan ekonomi warga, karena banyak yang memanfaatkan momen ini untuk meraup rejeki dengan berjualan aneka makanan, minuman hingga mainan anak-anak.

Begitu semua peserta kirab sampai di balai desa, seorang tokoh agama memimpin doa dengan harapan seluruh desa senantiasa diberikan keselamatan dan sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh yang Maha Kuasa. Setelah doa selesai dipanjatkan, warga memperebutkan gunungan hasil bumi yang sebelumnya ikut diarak dalam kirab. Saat itu pula yang menjadi tanda dimulainya perang lumpur tradisi Popokan.

Mengambil amunisi dari sawah

Anak-anak hingga orang dewasa yang didominasi kaum laki-laki mulai mengambil amunisi tanah basah di petak-petak sawah sekitar balai desa, walaupun saat itu kebanyakan sawah dalam kondisi kering. Sebuah motor yang  tidak diketahui pemiliknya pun menjadi sasaran pertama popokan karena diparkir begitu saja di tepi sawah. Suasana desa menjadi semakin riuh dan begitu meriah. 

Perang lumpur di area sawah

Jika ingin aman dari lemparan lumpur secara langsung, lebih baik menepi di sekitar masjid atau rumah warga.
Meskipun saling lempar, namun tidak ada amarah dalam acara ini bahkan para warga tampak begitu bahagia melihat tubuh kawannya berbalut lumpur. Rasa bahagia itu tercipta juga karena para warga percaya jika dipopok atau terkena lumpur maka nantinya akan mendapat berkah yang tidak terduga.

Mandi bersama di sungai kecil

Setelah kurang lebih 20 menit mereka berperang, ditiuplah peluit sebagai tanda popokan telah berakhir dan tidak ada lagi yang boleh melempari lumpur. Para peserta tradisi popokan yang tadinya begitu menggebu-gebu, berubah drastis menjadi berjalan dengan santainya. Rangkaian tradisi Popokan ini ditutup dengan saling membersihkan tubuh di sungai kecil tak jauh dari sawah, namun ada juga yang memilih kembali ke rumah dengan kondisi tubuh penuh lumpur.

Comments

Popular Posts