Cerita di Gunung Nglanggeran






Bicara soal gunung api, Indonesia punya puluhan bahkan ratusan gunung yang masih aktif maupun yang sudah tidak. Ini terjadi karena Indonesia terletak pada pertemuan lempeng yang akhirnya membentuk gunung-gunung api. Di Yogyakarta ada sebuah gunung berumur jutaan tahun yang sekarang kita kenal sebagai Gunung Api Purba Nglanggeran.

Gunung purba ini terletak di desa Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul. Bukti yang menunjukkan bahwa Nglanggeran dulunya gunung berapi aktif adalah ditemukannya batuan sedimen vulkanik, aliran lava andesit dan juga adanya bekas kawah pada puncaknya. Saat ini kawasan gunung api purba dijadikan obyek wisata oleh masyarakat sekitar dan setiap harinya tidak pernah sepi pengunjung.

Lorong sumpitan

Di Nglanggeran kita juga bisa berkemah di puncak atau di camping ground yang sudah disediakan. Perjalanan dari basecamp menuju puncak membutuhkan waktu 1 hingga 2 jam. Anak tangga dan undakan yang sudah dibuatkan warga mempermudah kita selama pendakian menuju puncak. Tak perlu takut tersesat karena di setiap persimpangan sudah ada papan bertuliskan petunjuk dan kalimat penyemangat yang menggelitik. Kecuali jika ingin “melanggar” petunjuk tersebut seperti saya dan ketiga teman saat itu, kami naik melalui jalur turun dan turun lewat jalur naik.

Salah satu lokasi di jalur pendakian yang menjadi favorit saya adalah Lorong Sumpitan. Disini kita harus berjalan di antara dua tebing dengan sebuah batu terselip di atasnya. Ketika berjalan di lorong tersebut saya sambil berdoa agar salah satu tebingnya tidak bergeser dan menjatuhkan batu di atasnya. Lorong sumpitan ini hanya bisa dilalui orang satu per satu, maka dari itu jalur naik dan jalur turun dibedakan untuk mengantisipasi kemacetan.




Suasana di puncak saat itu

Saat itu saya dan teman-teman sampai di puncak sudah malam. Bintang-bintang di angkasa dan gemerlapnya kota Jogja dari ketinggian menambah pesona gunung api purba Nglanggeran ini. Namun keindahan malam itu tidak ada yang dapat saya abadikan karena keterbatasan peralatan dan kondisi fisik yang sudah lelah. Setelah mendirikan tenda dan mengisi perut yang terus bergejolak kami langsung mencari posisi yang nyaman untuk beristirahat.



Matahari tampak lingkaran sempurna

Pukul 4.30 alarm ponsel saya berdering dan membangunkan kami agar segera sholat dan bersiap menyambut fajar di Jogja lantai 2. Berjalan-jalan di sekitar puncak menikmati pemandangan Embung Nglanggeran, pepohonan hijau dan pemancar-pemancar yang terlihat menyembul dari lautan awan menjadi pilihan yang tepat sembari menunggu munculnya matahari pagi.

Menghadap sisi timur, cakrawala tak begitu tampak dan langitpun berawan. Sempat berpikiran matahari akan tertutup awan, namun ternyata pikiran saya salah. Tak lama kemudian matahari menampakkan dirinya dengan lingkaran sempurna.

 Matahari kembali bersembunyi

Sang surya kembali bersembunyi di balik awan tipis, kami pun memutuskan untuk membuat sarapan. Mie instan, cemilan beserta obrolan dan candaan membuat pagi itu terasa sempurna meskipun sebenarnya sederhana. 

Tak terasa matahari sudah mulai tinggi, kami pun berkemas dan mengakhiri cerita di puncak Nglanggeran.




Comments

Popular Posts